Oleh : Musmedia

Ketika pertama kali diresmikan pada 2017, Teras Cihampelas—atau yang lebih dikenal sebagai Skywalk Cihampelas—disebut sebagai tonggak inovasi dalam penataan ruang kota Bandung. Diresmikan di era Wali Kota Ridwan Kamil, proyek ini hadir sebagai solusi atas kepadatan pedagang kaki lima (PKL), keterbatasan trotoar, serta ketidaknyamanan pejalan kaki di kawasan wisata belanja Cihampelas.
Skywalk sepanjang lebih dari 400 meter ini tidak hanya menyediakan jalur pedestrian yang aman dan nyaman, tetapi juga ruang komersial yang tertata untuk PKL. Konsepnya menggabungkan fungsionalitas dan estetika ruang publik modern—menjadikannya magnet baru bagi wisatawan dan simbol kota yang ramah pejalan kaki.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul wacana pembongkaran Teras Cihampelas. Gubernur Jawa Barat saat ini, KDM, menginstruksikan Wali Kota Bandung untuk mengevaluasi keberadaan skywalk tersebut. Alasan yang dikemukakan antara lain: struktur dianggap menyempitkan badan jalan, menutupi pandangan terhadap pepohonan, memicu kemacetan, serta dinilai tidak lagi selaras dengan wajah kawasan.
Fakta bahwa sebagian kios di atas skywalk kini tak lagi aktif, kunjungan menurun pascapandemi COVID-19, serta kurangnya perawatan infrastruktur memang memperkuat narasi bahwa Teras Cihampelas mengalami kegagalan fungsi. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah pembongkaran merupakan langkah paling bijak?
Masalahnya Bukan Sekadar Infrastruktur
Menurunnya aktivitas ekonomi di Teras Cihampelas bukan hanya soal desain atau lokasi. Ini adalah bagian dari perubahan struktural dalam perilaku konsumsi masyarakat. Maraknya belanja digital dan kehadiran online shop telah menggeser pola belanja tradisional di pusat-pusat keramaian. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Bandung, melainkan di seluruh kota besar di Indonesia dan dunia.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi Teras Cihampelas adalah persoalan adaptasi terhadap zaman. Bukan penghentian, melainkan transformasi. Skywalk ini masih menyimpan potensi sebagai ruang urban kreatif—sebagai taman atap hijau, ruang pertunjukan seni, pusat UMKM tematik, atau jalur edukatif bebas kendaraan yang menyuarakan nilai keberlanjutan.
Lalu Lintas dan Narasi yang Perlu Diperiksa
Tudingan bahwa skywalk menjadi biang kemacetan juga perlu dikaji secara objektif. Kemacetan di kawasan Cihampelas umumnya disebabkan oleh aktivitas keluar-masuk kendaraan pribadi di area pusat perbelanjaan seperti Cihampelas Walk (Ciwalk). Ketidakseimbangan antara kapasitas jalan, kembalinya PKL ke trotoar bawah, serta peningkatan volume kendaraan menjadi persoalan yang lebih kompleks dan signifikan ketimbang keberadaan struktur skywalk.
Membongkar Teras Cihampelas sama artinya dengan menghapus jejak keberanian kota dalam menciptakan ruang publik yang humanistik. Proyek ini adalah hasil investasi besar—bukan hanya dalam bentuk anggaran, tetapi juga dalam visi bahwa kota bisa dirancang untuk manusia, bukan semata-mata untuk kendaraan.
Revitalisasi, Bukan Pembongkaran
Alih-alih dibongkar, Teras Cihampelas seharusnya direvitalisasi. Dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan komunitas kreatif, pelaku UMKM, mahasiswa arsitektur dan desain, hingga warga lokal, ruang ini bisa diberi makna baru yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan hari ini.
Ruang kota sejatinya tidak pernah statis. Ia bersifat dinamis—berubah seiring waktu, tantangan, dan budaya masyarakat. Kota yang baik bukanlah kota yang terburu-buru membongkar sesuatu yang belum berhasil, tetapi kota yang sabar menata, belajar dari kegagalan, dan berinovasi secara berkelanjutan.
Teras Cihampelas masih memiliki potensi sebagai ruang publik yang inklusif dan edukatif. Ia hanya memerlukan visi baru, tata kelola yang lebih adaptif, serta semangat pembaruan. Dalam dunia urban yang terus bergerak, ruang publik yang hidup tidak ditentukan oleh wujud fisiknya semata—melainkan oleh siapa yang hadir, merawat, dan mengisinya dengan makna.