Yogyakarta, 2 Desember 2025 – Isu kepatuhan pajak di industri retail cash intensive, seperti eceran makanan, obat-obatan, dan rokok yang menggunakan sistem kanvasing, kini menjadi sorotan utama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam acara PSSTalk #7 “Beyond Compliance: Innovative Tax Planning Strategies with Transfer Pricing for Multinational Corporations” di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Dr. Joko Ismuhadi, S.E., M.M., Pemeriksa Pajak Ahli Madya, menegaskan bahwa penindakan di sektor ini membutuhkan alat forensik canggih untuk mengatasi praktik penghindaran dan penggelapan.
Dr. Joko Ismuhadi menyoroti bahwa kerentanan utama di sektor cash intensive adalah manipulasi pendapatan yang disembunyikan melalui skema back-to-back loan (pinjaman timbal balik), mirip dengan apa yang terjadi dalam “Paradoks CPO“.

TAE: Akal Imitasi AI Bongkar ‘Inversion Relationship’
Dr. Joko Ismuhadi memperkenalkan Tax Accounting Equation (TAE) sebagai Jantung Matematis dari Artificial Intelligence Compliance Ecosystem (AICEco), sebuah platform yang didesain untuk mendeteksi kecurangan keuangan yang luput dari audit manual.
Inti dari metodologi ini adalah persamaan:
R = E + (A – L)
Di mana: R = Revenue (Pendapatan), E = Expenses (Beban), A = Assets (Aset), dan L = Liabilities (Kewajiban).
Menurut beliau, kekuatan TAE terletak pada kemampuannya untuk menyingkap ‘inversion relationship’ (hubungan terbalik) antara Pendapatan (R) dan Kewajiban (L).
Modus Operandi Kanvasing dan Penghindaran Pajak:
* Manipulasi Awal (Mekanisme I): Di sektor cash intensive, pendapatan penjualan riil (R) yang diterima secara tunai secara sistematis direklasifikasi dan dibukukan sebagai peningkatan artifisial pada Kewajiban (L).
* Efek: Pendapatan Kena Pajak (R) ditekan (underreported) di Laporan Laba Rugi, sementara Kewajiban (L) digelembungkan di Neraca.
* Penyelesaian Skema (Back-to-Back Loan): Dana yang disembunyikan dalam akun Kewajiban yang digelembungkan (L) di dalam negeri kemudian direkarakterisasi menjadi pinjaman antarperusahaan dari luar negeri (back-to-back loan).
* Erosi Basis Pajak: Pembayaran bunga (E) atas pinjaman (L) fiktif ini dibayarkan kepada pihak berelasi di luar negeri. Pembayaran bunga ini berfungsi sebagai beban yang dapat dikurangkan (deductible expense) yang secara permanen mengurangi laba kena pajak di Indonesia.
“Jika Wajib Pajak di industri cash intensive mereklasifikasi pendapatan menjadi kewajiban, ini akan membuat angka Pendapatan yang dilaporkan secara matematis tidak memadai untuk mendukung posisi Kekayaan Bersih (A-L) yang dihasilkan,” jelas Dr. Joko Ismuhadi.
Discrepancy Index (DI): Deteksi Berbasis Risiko
Dr. Joko Ismuhadi menekankan bahwa TAE memungkinkan AICEco menghasilkan Discrepancy Index (DI), sebuah metrik kuantitatif dan objektif yang mengukur besarnya ketidakseimbangan matematis.
* Sinyal Kritis: Skor DI Kritis menandakan probabilitas tinggi penghindaran pajak sistematis (seperti salah klasifikasi R ke L), menuntut Audit Pajak Forensik.
* Keunggulan: Metode ini, berbeda dengan Net Worth Method tradisional yang kurang responsif untuk MNE kompleks, memverifikasi integritas aliran transaksi itu sendiri dengan merekonsiliasi Pendapatan dan Beban (R dan E) secara langsung ke Aset dan Kewajiban (A dan L).
Melalui inovasi ini, DJP dapat mengalihkan fokus dari sekadar menantang harga transfer ke memverifikasi integritas matematis laporan keuangan, memastikan bahwa potensi pajak dari sektor cash intensive yang selama ini menjadi underground economy dapat diamankan.










